Dari Teater Hingga Sutradara, Pokoknya Belajar Hal yang Baru
Astrid
Asmarani terbilang cukup ambisius. Selama ada kesempatan untuk menjajal
kesenian baru, pasti tidak akan dia
lewatkan. Mulai dari seni tradisional hingga modern pernah dia cicipi.
Impiannya yang sampai sekarang belum terwujud: membuka rumah seni untuk akting,
tari, dan modeling.
LINTANG ANIS BENA K, Jember
MENDAMPINGI suaminya, Wijaya alias Cak
Londho dalam berbagai cara kesenian menjadi aktiitas yang banyak dijalani oleh
Astrid Asmarani semenjak menikah tahun lalu. Tak hanya terlibat sebagaib pelaku
seni, juga orang yang berada di balik layar.
Keterlibatan
wanita yang akrab disapa Rani bisa dibilang berasal dari bakat. Dirinya
mewarisi dari bakat seni dari ibunda yang sewaktu muda yang aktif menjadi
sinden dan menyanyi. Begitu pula dengan kakaknya yang aktif juga dibilang seni.
“Bedanya,
kakak saya lebih aktif sebagai penari, sedangkan saya mengawali seni di
teater,” ujarnya ketika di temui Jawa Pos
Radar Jember.
Uniknya,
semenjak mengawali kiprahnya di seni teater, setiap peran yang di berikan
kepada wanita kelahiran 8 Februari 1987 ini selalu mendapatkan peran antagonis.
Baik sebagai tokoh jahat atau pun karakter yang identik dengan kegelapan.
“Mungkin karena wajah saya terlihat judes ya,” selorohnya.
Karena
bosan mendapatkan peran antagonis, Rani mencoba pengalaman baru menjadi
sutradara. Ketika pentas seni Masa Orientasi Siswa (MOS) SMA, dia menjadi
pengarah adegan di kelompoknya. Ini membuatnya di lirik oleh pelatih
ekstrakurikuler teater, dan sejak saat itu Rani kerap ditarik sebagai sutradara
dan penulis dalam setiap tater yang di gelar di SMAN 5 Jember, almamaternya.
Bergabungnya
bungsu dari dua bersaudara ini di pentas Jember Fashion Carnial (JFC) pada tahu
2003 menjadi titik balik Rani dalam bidang acting dan sutradara. Darisana, Rani
kembali mendapatkan pengalaman baru yaitu fideografi.
“Ketika
melihat orang merekam fideo pakai HP biasa, kok sepertinya menarik ya. Saya belajar
banyak hal dan banyak orang ketika itu,” kenangnya.
Saking
banyak nya ilmu yang dia serap, mulai dari acting hingga videografi, Rani
sempat bingung ketika mencari akademi yang bisa mewadahi seluruh hobinya
tersebut. Apalagi selama ini dirinya belajar secara otodidak dan ingin menambah
ilmu lewat akademi formal. “Akhirnya setelah cari-cari informasi saya menemukan
akademi yang saya minati di Jogjakarta,” paparnya.
Bergabung
di Joga Film Academy tidak membuat langkah Rani menjadi seniman lantas mulus.
Awalnya, mendeapat pengalaman baru dikota orang terasa sangat menyenangkan
baginya. Namun hal tersebut tak lantas membuatnya betah.
“Semakin
lama kondisi financial menipis. Bikin
tugas, satu skrip bisa menghabiskan kertas sampai satu rim. Bikin film, biaya produksinya mencapai
jutaan rupiah,” kenangnya. Belum lagi biaya hidup yang cukup besarselama kos di
Jogjakarta
.
Untuk
menyiasatinya, Rani sempat bergabung dengan tim videografi di kota pelajar.
Namun ini belum bisa membuat hatinya lega. Akhirnya pada 2015, setelah setahun
menetap di Jogjakarta, dirinya memutuskan kembali ke Jember setelah memperoleh
ilmu yang dirasa cukup matang.
Kembali
ke Jember tidak membuat kretifitas Rani memudar. Dia ingin membawa seluruh imu
yang dia pelajari selama setahun dan bisa memberikan karya untuk Jember.
Mewskipun
hanya sebentar, namun Rani tidak menyesal belajar di Jogjakarta. Kemampuan yang
dia pelajari diakademi film menjadi ilmu yang tak akan dia lupakan. “Sebenarnya
eman,tapi saya yakin bisa memenuhi
keinginan saya yang lain,” tegasnya.
Dirinya
sempat mendirikan sanggar modeling,
namun pupus ditengah jalan. Ditengah kebimbangan ini dia bertemu dengan Djoko
Supriyatno, salah satu pelaku seni kawakan di Jember. “Pernah saya di undang ke
Rumah Budaya di Pancakarya, tapi saya tidak datang karena sibuk memotret,”
ujarnya.
Tak
berhenti sampai disana, Rani kembali diajak untuk tampil diatas panggung.
Pentasnya kala itu adalah ketoprak yang digelar di Alun-alun Kota Jember.
“Waktu itu saya tidak dibilangi
apa-apa, saya kira saya terlibat di belakang layar. Tiba-tiba langsung dikasih
peran dan kostum sebagai jambearum, salah satu tokoh diludruk itu,” kata Rani.
Disinilah
dia bertemu dengan Cak Londho yang menjadi lawan mainnya, kemudian
menyandingnya sebagai seorang istri. Setelah menikah, dirinya semakin
mengembangkan ilmu seni videografinya. “Tidak hanya video tetapi juga musik,
karena ketika di JFC saya juga diajari aransemen musik. Ilmu ini masih saya
gunakan hingga sekarang,” lanjutnya.
Keinginan
Rani untuk belajar hal baru juga di terapkan ketika dia ‘banting setir’ belajar
make up, tata rambut, dan kecantikan.
“Pokoknya yang berbau seni tak cicipi semua,”
ujarnya sembari tertawa.
Setelah
menjadi seorang ibu, Rani masih ingin terus berkarya. Bahkan sang putra Ladrang
Gendhing Pamungkas juga sudah disiapkan untuk menjadi penerus lakon seni di Jember. “Saya juga punya
keinginan untuk bikin kelas teater sama teman lulusan Institute Seni Indonesia
(ISI) Jogjakarta. Keluaranya, kita bikin film dengan di bintangi oleh pelaku
teater di dalamnya,” pungkasnya. (lin/c1/hdi)
Sumber: JP-RJ Selasa 24 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar