Kamis, 25 Januari 2018

Astrid Asmarani, Pegiat Seni dengan Segudang Bakat



Dari Teater Hingga Sutradara, Pokoknya Belajar Hal yang Baru

Astrid Asmarani terbilang cukup ambisius. Selama ada kesempatan untuk menjajal kesenian  baru, pasti tidak akan dia lewatkan. Mulai dari seni tradisional hingga modern pernah dia cicipi. Impiannya yang sampai sekarang belum terwujud: membuka rumah seni untuk akting, tari, dan modeling.


LINTANG ANIS BENA K, Jember



            MENDAMPINGI suaminya, Wijaya alias Cak Londho dalam berbagai cara kesenian menjadi aktiitas yang banyak dijalani oleh Astrid Asmarani semenjak menikah tahun lalu. Tak hanya terlibat sebagaib pelaku seni, juga orang yang berada di balik layar.

            Keterlibatan wanita yang akrab disapa Rani bisa dibilang berasal dari bakat. Dirinya mewarisi dari bakat seni dari ibunda yang sewaktu muda yang aktif menjadi sinden dan menyanyi. Begitu pula dengan kakaknya yang aktif juga dibilang seni.

            “Bedanya, kakak saya lebih aktif sebagai penari, sedangkan saya mengawali seni di teater,” ujarnya ketika di temui Jawa Pos Radar Jember.

            Uniknya, semenjak mengawali kiprahnya di seni teater, setiap peran yang di berikan kepada wanita kelahiran 8 Februari 1987 ini selalu mendapatkan peran antagonis. Baik sebagai tokoh jahat atau pun karakter yang identik dengan kegelapan. “Mungkin karena wajah saya terlihat judes ya,” selorohnya.

            Karena bosan mendapatkan peran antagonis, Rani mencoba pengalaman baru menjadi sutradara. Ketika pentas seni Masa Orientasi Siswa (MOS) SMA, dia menjadi pengarah adegan di kelompoknya. Ini membuatnya di lirik oleh pelatih ekstrakurikuler teater, dan sejak saat itu Rani kerap ditarik sebagai sutradara dan penulis dalam setiap tater yang di gelar di SMAN 5 Jember, almamaternya. 

            Bergabungnya bungsu dari dua bersaudara ini di pentas Jember Fashion Carnial (JFC) pada tahu 2003 menjadi titik balik Rani dalam bidang acting dan sutradara. Darisana, Rani kembali mendapatkan pengalaman baru yaitu fideografi. 

            “Ketika melihat orang merekam fideo pakai HP biasa, kok sepertinya menarik ya. Saya belajar banyak hal dan banyak orang ketika itu,” kenangnya. 

            Saking banyak nya ilmu yang dia serap, mulai dari acting hingga videografi, Rani sempat bingung ketika mencari akademi yang bisa mewadahi seluruh hobinya tersebut. Apalagi selama ini dirinya belajar secara otodidak dan ingin menambah ilmu lewat akademi formal. “Akhirnya setelah cari-cari informasi saya menemukan akademi yang saya minati di Jogjakarta,” paparnya.

            Bergabung di Joga Film Academy tidak membuat langkah Rani menjadi seniman lantas mulus. Awalnya, mendeapat pengalaman baru dikota orang terasa sangat menyenangkan baginya. Namun hal tersebut tak lantas membuatnya betah. 

            “Semakin lama kondisi financial menipis. Bikin tugas, satu skrip bisa menghabiskan kertas sampai satu rim. Bikin film, biaya produksinya mencapai jutaan rupiah,” kenangnya. Belum lagi biaya hidup yang cukup besarselama kos di Jogjakarta
.
            Untuk menyiasatinya, Rani sempat bergabung dengan tim videografi di kota pelajar. Namun ini belum bisa membuat hatinya lega. Akhirnya pada 2015, setelah setahun menetap di Jogjakarta, dirinya memutuskan kembali ke Jember setelah memperoleh ilmu yang dirasa cukup matang. 

            Kembali ke Jember tidak membuat kretifitas Rani memudar. Dia ingin membawa seluruh imu yang dia pelajari selama setahun dan bisa memberikan karya untuk Jember. 

            Mewskipun hanya sebentar, namun Rani tidak menyesal belajar di Jogjakarta. Kemampuan yang dia pelajari diakademi film menjadi ilmu yang tak akan dia lupakan. “Sebenarnya eman,tapi saya yakin bisa memenuhi keinginan saya yang lain,” tegasnya.

            Dirinya sempat mendirikan sanggar modeling, namun pupus ditengah jalan. Ditengah kebimbangan ini dia bertemu dengan Djoko Supriyatno, salah satu pelaku seni kawakan di Jember. “Pernah saya di undang ke Rumah Budaya di Pancakarya, tapi saya tidak datang karena sibuk memotret,” ujarnya.

            Tak berhenti sampai disana, Rani kembali diajak untuk tampil diatas panggung. Pentasnya kala itu adalah ketoprak yang digelar di Alun-alun Kota Jember. “Waktu itu saya tidak dibilangi apa-apa, saya kira saya terlibat di belakang layar. Tiba-tiba langsung dikasih peran dan kostum sebagai jambearum, salah satu tokoh diludruk itu,” kata Rani.

            Disinilah dia bertemu dengan Cak Londho yang menjadi lawan mainnya, kemudian menyandingnya sebagai seorang istri. Setelah menikah, dirinya semakin mengembangkan ilmu seni videografinya. “Tidak hanya video tetapi juga musik, karena ketika di JFC saya juga diajari aransemen musik. Ilmu ini masih saya gunakan hingga sekarang,”  lanjutnya.

            Keinginan Rani untuk belajar hal baru juga di terapkan ketika dia ‘banting setir’ belajar make up, tata rambut, dan kecantikan. “Pokoknya yang berbau seni tak cicipi semua,” ujarnya sembari tertawa.
            Setelah menjadi seorang ibu, Rani masih ingin terus berkarya. Bahkan sang putra Ladrang Gendhing Pamungkas juga sudah disiapkan untuk menjadi penerus lakon seni di Jember. “Saya juga punya keinginan untuk bikin kelas teater sama teman lulusan Institute Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Keluaranya, kita bikin film dengan di bintangi oleh pelaku teater di dalamnya,” pungkasnya. (lin/c1/hdi)

Sumber: JP-RJ Selasa 24 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Anak Muda Buktikan Eksistensi dalam Globalisasi

Mulai Prestasi Internasional sampai Bersatu Lawan Hoax             Di era globalisasi, pemuda tidak hanya menyumbangkan peran secar...