Kamis, 11 Januari 2018

Kepel, Kampung Gula Merah di Sudut Kecamatan Wuluhan



Saat Musim Nikah, Permintaan Melonjak

Kecamatan Wuluhan ternyata punya kampong gula merah. Tepatnya di dusun Kepel. Banyak warga dusun yang sudah sejak lama menggantungkan hidupnya dari home industry gula merah dengan proses produksi yang sangat sederhana.
KHAWAS AUSKARNI,Wuluhan

BEBERAPA kali Yayuk,47,tampak menyeka keningnya. Nyala tungku dan caitan coklat nira membuatnya kepanasan. Sudah lebih dari tiga jam duduk sembari mengaduk-aduk bahan dasar gula merah itu. “ini mungkin sekitar setengah tiga sudah matang,”ujarnya sembari tetap mengaduk-aduk cairan panas kecoklatan itui, dibvangunan belakang rumahnya.

Yayuk hanyalah satu dari warga Dusun Kepel, Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan yang menjadi pelaku home industry gula merah (warnanya coklat). Usaha yang sudah berlangsung turun-temurun itu hingga kini masih di minati oleh sebagian generasi muda setempat.

Bagaimana tidak, bisnis gula merah tidak ada matinya. Kendati angka permintaannya tidak sebanyak gula pasir atau gula tebu, pasar mau nyerap berapa pun hasil produksi gula merah.

Bisa dibilang, hasil produksi gula merah merupakan barang fast moing. Yayuk pun mengaku jika hasil produksinya tak pernah menginap. “Sekarang jadi, besok langsung diambil pedagang,”terangnya.

Kendati demikian, produktivitas para perajin gula merah Dusun Kepel sangat bergantung pada perolehan nira. Nira merupakan cairan dari pohon kelapa saat tunas bagian atas (warga setempat biasa menyebutnya mancung) diiris. Lantas, cairan yang keluar dari mancung itu  di tamping dalam jeriken atau sejenisnya.

Selama beberapa jam, penderes (sebutan untuk orang yang mengambil cairan nira) akan memberikan jeriken tersebut di atas pohon kelapa. Tujuannya,agar jeriken terisi caira nira hingga penuh.

Suami Yayuk biasa nderes (mengambil nira) sekitar pukul 14.00. Jeriken yang di bawa dari bawah lantas di tinggal sebelum kemudian di ambil pada pada pukul 05.00 esok harinya. “Biasanya saat diambil, jerikennya dalam kadaan sudah atau hampir terisi penuh,” ujar Poniman, suami Yayuk. 

Sambil mengambil jeriken yang sudah terisi nira, Poniman memasang jeriken lain untuk nyicil nira selanjutnya. Menurutnya, pohon kelapa maksimal hanya mampu dua kali mengeluarkan nira yaitu saat pagi dan sore saja. “Itu makanya, produktivitas sangat tergantung pada persediaan nira,”katanya.

Untuk menyiasati kemampuan pohon kelapa dalam mengeluarkan nira, mereka biasanya menyewa pohon kelapa tetanggannya untuk diambil niranya. Istilah dikalangan perajin gula merah Dusun Kepel biasa disebut dengan ng-eon. Berasal dari kata satuan ons. 

Poniman merata-rata, untuk menghasilkan tiga kilo hingga lima kilogram gula merah, dia mesti nderes pada sepuluh pohon kelapa. Itu pun di asumsikan rata-rata perpohon kelapa menghasilkan 0,5 liter nira.

Saat di masak dengan kadar panas yang cukup tinggi, cairan akan menyusut derastis hingga separuhnya. Hasil rebusan nira yang masih cair ini biasa di kenal dengan legen mentah, berwarna putih. Jika di masak lagi akan menjadi legen matang yang berwarna coklat. Sebelum kemudian di cetak menggunakan silinderbambu lantas di biarkan hingga kering. Jadilah gula merah.

Likah, 52, warga setempat, merupakan salah seorang pedagang yang biasa membawa gula merah hasil produksi Yayuk dan Poniman itu. Dia membeli kepada keluarga itu seharga Rp 10.500 perkg. Likah kemudian membawanya ke pasar untuk di jual lagi kepedagang eceran. “ Untuk harga sekarang, saya melepasnya Rp 11.000 hingga Rp 11.500 perkg ke pengecer. Biasanya, mereka pada pembeli kisaran Rp 12.000 hingga Rp 13.000 perkg” terangnya.

Likah mengakui jika serapan pasar atas produk gula merah sangat cepat. Oleh, masyarakat, biasanya gula jenis itu di gunakan sebagai bahan baku sambal pecel, dawet, dan beberapa adonan kue tradisional.

Biasanya, permintaan akan melejit saat musim nikah. Hal itu cukup wajar lantaran banyak masyarakat banyak yang membutuhkan gula merah sebagai bahan kue hajatan.
Sebelum menjadi pedagang gula merah, dulu nya keluarga Likah juga menjadi produsen gula merah, sebagaimana kebanyakan warga Dusun Kepel. Kurang lebih selama dua lima tahun keluarganya menggeluti home industry gula merah. 

Keputusannya untuk berhenti pada empat tahun silam lantaran suaminya dianggap sudah cukup tuauntuk nderes nira. “ Resikonya besar kalau dalam keadaan tua masih harus manjat pohon kelapa,”katanya.

Selain memutuskan untuk berhenti berproduksi seperti Likah, biasanya perajin gula merah Dusun Kepel yang sudah usia lanjut meregenerasukan kepada anak-anaknya yang masih muda untuk melanjutnya usaha home industry keluarganya. “Kalau saya , anak saya sudah kerja kantoran semua. Jadi tidak ada regenerasi,”pungkasnya. (c1/ras)
Sumber:JP-RJ Senin 3 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Anak Muda Buktikan Eksistensi dalam Globalisasi

Mulai Prestasi Internasional sampai Bersatu Lawan Hoax             Di era globalisasi, pemuda tidak hanya menyumbangkan peran secar...