Saat Musim Nikah, Permintaan Melonjak
Kecamatan Wuluhan ternyata punya kampong gula merah.
Tepatnya di dusun Kepel. Banyak warga dusun yang sudah sejak lama
menggantungkan hidupnya dari home industry gula merah dengan proses produksi
yang sangat sederhana.
KHAWAS AUSKARNI,Wuluhan
BEBERAPA kali
Yayuk,47,tampak menyeka keningnya. Nyala tungku dan caitan coklat nira
membuatnya kepanasan. Sudah lebih dari tiga jam duduk sembari mengaduk-aduk
bahan dasar gula merah itu. “ini mungkin sekitar setengah tiga sudah
matang,”ujarnya sembari tetap mengaduk-aduk cairan panas kecoklatan itui,
dibvangunan belakang rumahnya.
Yayuk hanyalah satu dari warga Dusun Kepel, Desa
Lojejer, Kecamatan Wuluhan yang menjadi pelaku home industry gula merah (warnanya coklat). Usaha yang sudah
berlangsung turun-temurun itu hingga kini masih di minati oleh sebagian
generasi muda setempat.
Bagaimana tidak, bisnis gula merah tidak ada matinya.
Kendati angka permintaannya tidak sebanyak gula pasir atau gula tebu, pasar mau
nyerap berapa pun hasil produksi gula merah.
Bisa dibilang, hasil produksi gula merah merupakan
barang fast moing. Yayuk pun mengaku jika hasil produksinya tak pernah
menginap. “Sekarang jadi, besok langsung diambil pedagang,”terangnya.
Kendati demikian, produktivitas para perajin gula
merah Dusun Kepel sangat bergantung pada perolehan nira. Nira merupakan cairan
dari pohon kelapa saat tunas bagian atas (warga setempat biasa menyebutnya mancung) diiris. Lantas, cairan yang
keluar dari mancung itu di tamping dalam
jeriken atau sejenisnya.
Selama beberapa jam, penderes (sebutan untuk orang
yang mengambil cairan nira) akan memberikan jeriken tersebut di atas pohon
kelapa. Tujuannya,agar jeriken terisi caira nira hingga penuh.
Suami Yayuk biasa nderes
(mengambil nira) sekitar pukul 14.00. Jeriken yang di bawa dari bawah lantas di
tinggal sebelum kemudian di ambil pada pada pukul 05.00 esok harinya. “Biasanya
saat diambil, jerikennya dalam kadaan sudah atau hampir terisi penuh,” ujar
Poniman, suami Yayuk.
Sambil mengambil jeriken yang sudah terisi nira,
Poniman memasang jeriken lain untuk nyicil nira selanjutnya. Menurutnya, pohon
kelapa maksimal hanya mampu dua kali mengeluarkan nira yaitu saat pagi dan sore
saja. “Itu makanya, produktivitas sangat tergantung pada persediaan nira,”katanya.
Untuk menyiasati kemampuan pohon kelapa dalam
mengeluarkan nira, mereka biasanya menyewa pohon kelapa tetanggannya untuk
diambil niranya. Istilah dikalangan perajin gula merah Dusun Kepel biasa
disebut dengan ng-eon. Berasal dari
kata satuan ons.
Poniman merata-rata, untuk menghasilkan tiga kilo
hingga lima kilogram gula merah, dia mesti nderes
pada sepuluh pohon kelapa. Itu pun di asumsikan rata-rata perpohon kelapa
menghasilkan 0,5 liter nira.
Saat di masak dengan kadar panas yang cukup tinggi,
cairan akan menyusut derastis hingga separuhnya. Hasil rebusan nira yang masih
cair ini biasa di kenal dengan legen mentah, berwarna putih. Jika di masak lagi
akan menjadi legen matang yang berwarna coklat. Sebelum kemudian di cetak
menggunakan silinderbambu lantas di biarkan hingga kering. Jadilah gula merah.
Likah, 52, warga setempat, merupakan salah seorang
pedagang yang biasa membawa gula merah hasil produksi Yayuk dan Poniman itu.
Dia membeli kepada keluarga itu seharga Rp 10.500 perkg. Likah kemudian
membawanya ke pasar untuk di jual lagi kepedagang eceran. “ Untuk harga
sekarang, saya melepasnya Rp 11.000 hingga Rp 11.500 perkg ke pengecer.
Biasanya, mereka pada pembeli kisaran Rp 12.000 hingga Rp 13.000 perkg”
terangnya.
Likah mengakui jika serapan pasar atas produk gula
merah sangat cepat. Oleh, masyarakat, biasanya gula jenis itu di gunakan
sebagai bahan baku sambal pecel, dawet, dan beberapa adonan kue tradisional.
Biasanya, permintaan akan melejit saat musim nikah.
Hal itu cukup wajar lantaran banyak masyarakat banyak yang membutuhkan gula
merah sebagai bahan kue hajatan.
Sebelum menjadi pedagang gula merah, dulu nya keluarga
Likah juga menjadi produsen gula merah, sebagaimana kebanyakan warga Dusun
Kepel. Kurang lebih selama dua lima tahun keluarganya menggeluti home industry gula merah.
Keputusannya
untuk berhenti pada empat tahun silam lantaran suaminya dianggap sudah cukup
tuauntuk nderes nira. “ Resikonya
besar kalau dalam keadaan tua masih harus manjat pohon kelapa,”katanya.
Selain memutuskan untuk berhenti berproduksi seperti
Likah, biasanya perajin gula merah Dusun Kepel yang sudah usia lanjut
meregenerasukan kepada anak-anaknya yang masih muda untuk melanjutnya usaha home industry keluarganya. “Kalau saya ,
anak saya sudah kerja kantoran semua. Jadi tidak ada regenerasi,”pungkasnya.
(c1/ras)
Sumber:JP-RJ Senin 3 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar