Seperti Ada Yang Menuntun
Saya Keluar Rumah
Bencana
alam di Desa Jambesari, Sumberbaru, menjadi perhatrian public karena menewaskan
tiga korban sekaligus. Namun di balik itu, ada 7 orang sekeluarga yang selamat
dari maut. Bagaimana kisah mereka?
RULLY EFENDI, Jember
MUNARI tak ingin
trauma. Apalagi di sebut takut di menghadapi maut. Tak heran, pria dengan empat
orang cucu itu tampak begitu tenang. Padahal, tiga malam sebelumnya, maut nyaris
mencabut nyawa dan seluruh keuarganya.
Pria
buta aksara itu masih mengingat betul, kejadian di Senin (16/10) malam itu.
Kepada Jawa Pos Radar Jember, dia
begitu enteng bercerita tanpa beban. Padahal, tetangga samping rumahnya (Saiful
sekeluarga), terkubur tanah longsor.
Munari,
yang sehari-hari bekerja sebagai pemanjat pohon kelapa itu sangat meyakini,
bahwa Tuhan selalu member perlindungan jika memang kehendaknya. Seperti saat
itu, selepas menjalankan salat Isya, dia mendengar suara seperti dum truk yang
baru menurunkan bebatuan.
“Suara
tidak begitu jelas. Karena bebarengan dengan hujan lebat dan angin,” akunya.
Namun
entah seperti ada yang menuntunnya. Dia yang masih mengenakan sarung lengkap
dengan kopiah, mendadak keluar rumah melihat situasi. Sungguh di luar nalarnya.
Karena di luar rumah, angin sangat kencang.
Karena
seperti ada badai, begitu keluar rumah dia di tegur keras anak menantunya Mat
alias Pak Sit. Namun Munari tetap keluar rumah. “Saat keluar rumah ada bunyi
seperti letusan ban,” ingatnya.
Merasa
takut ada sesuatu, diapun masuk rumah kembali, dan minta keenam keluarga
lainnya segera keluar rumah. “Saya minta semua keluar rumah secepatnya, saya
malah di marahin sama menantu,” katanya.
Dia
tak peduli. Tanpa banyak bicara, istrinya (Satumi) dia perinytahkan menggendong
cucu bungsunya, Holipa. Sedangkan tiga cucu lainnya lari sekencang-kencangnya
ke luar rumah.
Karena
Munari keluar rumah bersama ke empat anaknya Pak Sit, baru kemudia menantunya
menyusul ke luar rumah. Benar saja, beberapa saat kemudian rumah korban Saiful
dilihatnya sudah rata terkubur tanah longsoran.
Namun
Munari bukan tanpa korban. Karena segera menyelamatkan diri, seekor sapi dan
keenam ekor kambing peliharaannya itu terkubur di kandang (tak bisa
diselamatkan). Namun yang membuatnya lega, nyawa keempat cucunya yang piatu
sejak dua tahunan yang lalu itu, selamat dari maut.
Munari
memaklumi sikap menantunya yang menentang keluar rumah. Sebab, dibelakang
rumahnya notabene tidak ada yang tinggi yang dikhawatirkan longsor dahsyat.
Tebingnya hanya tinggi satu meteran. Namun bertingkat. Jika di kalkulasi,
memang bisa mencapai puluhan meter.
Pun dem,ikian dengan pengalaman empat tahunan,
tinggal di rumah yang terkena longsoran itu. Sama sekali tidak pernah ada
kejadian longsoran meski kecil. “Tanahnya memang gembur. Tapi tidak pernah ada
longsor,” akunya.
Tetapi
dia masih ingat, dua bulan sebelumnya, puncak ketinggian yang di Tanami sengon,
mulai di tebangi pemiliknya. Hanya tersisa beberapa sengon dikebun kopi yang
mengelilingi rumahnya.
Munari
mengaku memang tak pernah trauma. Diperkuat sikapnya, yang beberapa kali menunjukkan gaya humorisnya
bersama sang istri.
Namun
yang dia pikirkan, psikologis keempat cucunya. Karena mereka masih kecil.
Seperti Holipa yang masih duduk di kelas 1 SD, Holidin kelas 4 SD, Dan Suryana
kelas 6 SD. “Kalau Sitiana sudah lulus sekolah. Umurnya sudah 16 tahun,”
ungkapnya.
Selain
kejiwaan keempat cucunya, dia juga mulai berpikir bagaimana cara melanjutkan
sekolah mereka. Sebab, semua harta yang dia miliki, ikut terkubur tanah
longsoran. Belum lagi soal tempat tinggal. “Sekarang saya pasrah,” tuturnya.
(rul/c1/hdi)
Sumber: JP-RJ Kamis 19 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar