Sabtu, 06 Januari 2018

Kiprah Humanis Agamawan pada Tragedi 1965 di Jember



 Pesantren Lindungi Warga Yang Diamuk Masa Anti-PKI

          Dimasa jayanya, PKI punya riwayat konflik yang cukup dalam-baik dengan umat islam maupun agama lain . Setelah percobaan kudeta yang gagal pada tahun 1965, para kader maupun mereka yang dituduh terafiliasi dengan PKI menjadi sasaran amuk masa. Namun dibalik sejarah kelam tersebut, juga terseliP beberapa kisah humanis yang masih jarang diketahui khalayak.

ADI FAIZIN, Jember


MUSALA sederhana itu tak sekadar menjadi tempat berjamaah bagi santri dan warga sekitar. Sebagaimana lazimnya pondok pesantren pada umumnya, musala yang ada dikompoleks Pondok Pesantren Mabdul Maarif, Desa Jombang Kecamatan Jombang itu menjadi sentra kegiatan pengajaran keagamaan  khas pesantren, yakni ngaji kitab.

Dikelilingi bilik-bilik santri,musala itu juga dilengkapi menara, khas arsitektur masjid dan pesantren kuno peninggalan walisongo.

Namun di balik kesederhanaan bangunannya, Pondok Pesantre Mabdaul Maarif menyimpan cerita sejarah yang panjang. Resmi berdiri menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, Pesantren yang didirikan oleh KH Syafawi itu menjadi saksi sejarah tentang gelora heroik para pemuda desa di Jember bagian selatan. 

“Dulu semasa revolusi fisik, pesantren ini menjadi salah satu sentra perlawanan para pemuda melawan Belanda. Begitu juga pada masa penumpasan gerakan komunis,”tutur Zainul Arifin, salah satu putra KH Syafawi.

Pada masa orde lama, KH Syafawi bersama KH Djauhari Zawawi (pengasuh ponpes Assuniyyah,Kencong) merupakan pimpinan dari Pengurus Cabang NU Kencong. Sebagaimana diketahui, sejak awal berdirinya, kepenguruan NU Jember terbagi menjadi dua, PC NU Jember dan PC NU Kencong.

Meski berada di kawasan santri, pengaruh komunis cukup kuat di berbagai desa di Jember selatan. Termasuk di Kencong dan Jombang. “Saat itu, kalau ada acara masing-masing, baik NU, PKI serta PNI di desa sini, saling saing gebyarnya acara,”lanjut Zainul Arifin.

Maka tatkala, percobaab kudeta PKI gagal di Jakarta pada September 1965, pembersihan terhadap anasir-anasir PKI marak dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia, tak terkecuali di Jember selatan. Meski tak semua menjadi sasaran adalah benar-benar anggota PKI.

Sebagai tokoh agama, KH Syafawi tak lantas melakukan aksi balasan. Beberapa orang sebelumnya yang terlibat dalam aktivitas PKI maupun yang hanya menjadi korban fitnah, banyak yang kemudian mencari perlindungan di lingkungan PP Mabdaul Maarif.

“Saya ingat sekali, waktu itu banyak orang PKI atau yang terindikasi merah, datang kemari untuk meminta pertolngan. Abah waktu itu kemudian membimbing mereka mengucapkan dua kalimat syahadat,”lanjut pria kelahiran 1952 ini.

Upaya itu terbukti ampuh. Mereka yang datang ke Ponpes Mabdaul Maarif (Madaf) akhirnya tak lagi menjadi sasaran amukan massa. Pada massa itu, masjid dan musala juga mendadak penuh. Mereka yang semula terindikasi dikaitkan dengan PKI, langsung mendadak rajin beribadah ke masjid dan musala.

Situasi serupa juga di tuturkan KH Ahmad Sadid Jauhari, putra KH Djauhari Zawawi. Mereka lama sekali berada didalam masjid, meskipun jamaah salat selesai,”ujar pria yang akrab disapa Gus Sadid ini.

Menurut Gus Sadid, tidak semua orang-orang dituduh PKI adalah benar-benar kader partai brlambang palu arit. Beberapa orang yang tidak tahu menahu, banyak yang di catut oleh PKI sebagai kadernya.

Seringkali ada orang yang bertransksi dengan perusahaan perkebunan atau perusahaan kereta api, lantas dicatut sebagai kader PKI. Karena pada masa itu, kedua perusahaan tersebut banyak diisi oleh kader PKI,”tutur pengasuh pondok pesantren  Assuniyyah, Kencong ini.

Pada tahun 1965, usia Gus Sadid amat belia. Namun dia masih mengingat betapa mencengkamnya suasana ketika PKI sedang kuat di Jember. Karena itu dia berharap, masyarakat tetap waspada terhadap paham komunis.

Meski demikian, dia meminta masyarakat untuk tidak memperlakukan anak keturunan mereka yang di anggap PKI, disecara berlebihan. “Kita harus mencontoh, bagaimana nabi memperlakukan Ikrimah, anak abu Jahal. Nabi meminta sahabat kalau membicarakan Abu Jahal tolong jangan di depan Ikrimah, untuk menjaga perasaannya,”tutur Gus Sadid.

Kisah humanis lain, juga di tunjukkan oleh KH Abdul Yaqin,pendiri dan Pengasuh Podok Pesantren  Bustanul Ulum, Desa Mlokorejo, Kecamatan Puger pada masa pembasmian PKI. Sebagai salah satu pesantren tua, Ponpes Mlokorejo memangdikenal sebagai pesantren pergerakan.

“Waktu zaman penjajahan, pesantren ini sering di curigai oleh Belanda. Kemudian setelah merdeka, pesantren ini juga di musuhi pleh PKI,”tutur KH Syamsul Arifin Abdullah, salah satu putra KH Abdul Yaqin.

Pada masa kemerdekaan dan Orde Lama, KH Abdul Yaqin memang di kenal dengan salah satu tokoh yang cukup luwes. Sebagai tokoh politik islam, dia bisa di terima di kalangan nasionalis dan juga akrab dengan akar rumput. Tumbuh besar di lingkungan NU,KH Abdul Yaqin justru aktif di Masyumi dan setempat menjadi anggota Konstituante dari partai tersebut. Karena itu, KH Abdullah juga dekat dengan kalangan Muhammadiyah.

“Abah aktif di Masyumi karena taat pada perintah gurunya di Tempurejo. Namun setelah Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno, beliau kembali aktif di NU,”lanjut KH Syamsul.

Meski di musuhi oleh PKI, tak lantas membuat KH Abdullah menyimpan dendam buta terhadap PKI. Salah satu peristiwa yang di kenang adalah ketika seorang tokoh dari kelompok nasionalis, dimusuhi oleh warga sekitar karena di curigai sebagai PKI. Saat itu,KH Abdullah langsung mendatangi,merangkul dan menjelaskan kepada masyarakat bahwa tokoh tersebut tidak layak di musuhi.

“Abah bilang kepada masyarakat, bahwa orang ini bukan musuh kita. Salat dan kiblat nya pun sama dengan masyarakat,” tutur KH Syamsul.

Sementara sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, IG Krisnadi menjelaskan, ada banyak pula kisah penyelamatan yang di lakukan agamawan terhadap orang-orang yang di tuduh sebagai PKI. Seperti yang dilakukan oleh umat Khatolik di Jember.

“Saat itu, Gereja Katolik Santo Yusup, yang ada di dekat alun-alun, banyak menampung dan melindungi mereka-mereka yang terancam dibunuh karena di tuduh sebagai PKI,”jelas saja sejarawan yang banyak menulis tentang PKI tersebut. (ad)


Sumber:JP-RJ Selasa 3 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Anak Muda Buktikan Eksistensi dalam Globalisasi

Mulai Prestasi Internasional sampai Bersatu Lawan Hoax             Di era globalisasi, pemuda tidak hanya menyumbangkan peran secar...